Selasa, 24 Mei 2011

Perjanjian Kerja


Dalam melakukan pekerjaan, manusia bekerja untuk dirinya sendiri atau bekerja untuk pihak lain. Bekerja untuk pihak lain, merupakan satu kategori lagi yang dibagi menjadi 2 bentuk berdasarkan pihak lain tempat seseorang bekerja. Adapun kategori pihak lain itu, bekerja pada pemerintah dan bekerja pada pihak swasta. Yang bekerja kepada pemerintah disebut dengan pegawai, dan di atur dalam Undang-undang Kepegawaian. Sementara yang bekerja pada pihak swasta biasa disebut pekerja,buruh, ataupun karyawan, dan diatur dengan Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
            Pegawai bekerja berdasarkan Surat Keputusan, sedangkan pekerja/buruh/karyawan bekerja pada majikannya dengan dasar Perjanjian Kerja. Perjanjian kerja inilah yang kemudian melahirkan hubungan kerja antara pekerja dengan majikannya sebagai sebuah hubungan hukum. Dalam tulisan ini, penulis akan menjelaskan mengenai perjanjian kerja dan sistem outsourcing disertai dengan undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Sedangkan, mengenai Kepegawaian tidak menjadi pembahasan penulis dalam tulisan kali ini.
            Prof. Imam Soepomo, SH merumuskan Hubungan kerja adalah suatu hubungan antara seorang buruh dengan seorang majikan. Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh itu dengan membayar upah. ”Pada pihak lainnya” mengandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan pihak majikan. Pasal 1 angka (15) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Perjanjian kerja yang melahirkan hubungan kerja ini, harus dibedakan dengan perjanjian lain yang juga untuk melakukan pekerjaan, yaitu perjanjian pemberian jasa/pekerjaan tertentu, dan perjanjian pemborongan pekerjaan yang diatur dalam KUHPerdata. Perbedaan antara Perjanjian Kerja dengan Perjanjian untuk melakukan pekerjaan seperti yang disebut dalam KUHPerdata adalah dalam hal unsur-unsur dari masing-masing perjanjian tersebut. Dalam perjanjian pemborongan, hal yang utama adalah hasil pekerjaan dan ongkos yang harus dibayarkan untuk hasil pekerjaan yang telah dibayarkan untuk hasil pekerjaan yang telah dilakukan. Dalam Perjanjian Pemberian Jasa/pekerjaan tertentu, pihak yang menerima pekerjaan akan melakukan jasa/pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dalam melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa tersebut, pihak penerima jasa tersebut harus mempunyai keahlian tertentu, dan tidak perlu ada petunjuk dari pihak pemberi kerja, seperti hubungan antara seorang dokter dengan pasiennya,seorang pengacara dengan kliennya, dan seorang notaris dengan kliennya.
Perjanjian kerja menjadi dasar hubungan kerja antara buruh dan majikan. Pada Buku ke Tiga Bab 7 A bagian kesatu mengatur mengenai perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Perjanjian kerja termasuk perjanjian bernama yang diatur oleh undang-undang. Perjanjian kerja juga diatur secara khusus pada Undang-undang no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tepatnya pada bab IX pasal 51. Berdasarkan pasal 1 (14) Undang-undang no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh  dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, kewajiban para pihak. KUHPerdata pasal 1601 a menyatakan perjanjian perburuhan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Pada intinya perjanjian kerja adalah perjanjian yang isinya mengatur mengenai kewajiban buruh dan majikan, diantaranya mengenai bekerja dibawah pihak lain dan mengenai upah yang harus dibayarkan.
Dalam Perjanjian Kerja, sebagaimana perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yang harus ada dalam suatu Perjanjian kerja. Adapun keempat unsur tersebut adalah :
1.      Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, pada pokoknya harus dilakukan sendiri
2.      Harus dibawah perintah orang lain
3.      Pekerjaan tersebut dilakukan dalam waktu tertentu
4.      Si pekerja setelah memenuhi prestasinya, berhak mendapatkan upah, sebaliknya si pengusaha wajib untuk membayar upah tepat pada waktunya.
Keempat essensialia tersebut,diatur antara lain pada pasal 1602, 1602 b, 1603 a, 1603 b, KUHPerdata serta pasal 2 dan 4 PP no.8 tahun 1981 tentang perlindungan upah.
Perjanjian kerja pada dasarnya merupakan perjanjian pada umumnya. Hal ini tercermin dari Bab 7 a KUHPerdata tentang perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan, yang merupakan salah satu dari beberapa perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Dalam arti, untuk sahnya perjanjian kerja maka perjanjian kerja tersebut harus memuat syarat-syarat sahnya perjanjian. Walaupun syarat sahnya perjanjian, yang juga menjadi syarat sahnya perjanjian kerja sudah diatur pada KUHPerdata, Undang-undang no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan juga mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian kerja. Pasal 1320 KUHPerdata mengatakan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1.sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2.kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3.suatu hal tertentu; 4.suatu sebab yang halal. Begitu juga dengan Undang-undang no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 52 (1) mengatakan Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a.kesepakatan kedua belah pihak; b.kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c.adanya pekerjaan yang diperjanjikan; d.pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,kesusilaan, dan peraturan perundangan yang berlaku.
Baik berdasarkan KUHPerdata maupun Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, ada 4 hal yang harus dipenuhi agar Perjanjian tersebut sah, berikut penjelasan mengenai keempat hal tersebut :
-       Ada kesepakatan antara buruh dengan majikan
Maksudnya adalah kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian terebut haruslah bersepakat, setuju dan seia sekata atas hal-hal yang diperjanjikan.Dengan tanpa ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan. Karena itu manakala hal-hal tersebut sudah terpenuhi, maka kata sepakat telah terpenuhi.

-       Buruh dan majikan cakap dan mampu untuk membuat perjanjian
Perjanjian kerja yang menjadi dasar dari hubungan kerja, hanya bisa dilakukan oleh subjek hukum yang bisa menjadi pendukung hak dan kewajiban. Yaitu orang dan badan hukum. Badan hukum yang bisa membuat Perjanjian, harus memenuhi syarat :
-       Adanya harta kekayaan yang terpisah
-       Mempunyai tujuan tertentu
-       Mempunyai kepentingan sendiri
-       Ada organisasi
Apabila yang hendak membuat perjanjian adalah orang, maka orang tersebut haruslah orang yang tidak termasuk di dalam ketentuan pasal 1330 KUHPerdata, yang menentukan, yang tak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
-       Orang-orang yang belum dewasa
-       Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
-       Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat suatu perjanjian-perjanjian tertentu.
Khusus mengenai kriteria ketiga, yaitu bagi seorang perempuan, seperti disebutkan di atas, dengan telah berlakunya undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan, yaitu undang-undang no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan seperti disebutkan pada pasal 1330 KUHPerdata tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan ini adalah sesuai dengan isi yang disebutkan pada pasal 31 (1) dan (2) undang-undang no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa :
-   Ayat 1 : hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam bermasyarakat.
-   Ayat 2 : Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Ketentuan ini diperkuat lagi dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung RI no.3 tahun 1963, yang menganggap bahwa seorang istri bisa melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, karena itu ketentuan mengenai kriteria yang ketiga pada KUHPerdata di atas sudah tidak berlaku lagi.
-       Ada pekerjaan yang diperjanjikan antara buruh dengan majikan
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah sesuatu yang di dalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati. Ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada pasal 1333 KUHPerdata bahwa barang yang menjadi objek suatu perjanjian suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya.

-       Perjanjian kerja tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangan yang berlaku
Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Begitu juga dengan perjanjian kerja, agar tidak terlarang maka perjanjian kerja haruslah tidak berlawanan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangan yang berlaku.
Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif, karena menyangkut subjek dari perjanjian. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif, karena menyangkut objek dari perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Apabila syarat ketiga dan keempat yang tidak terpenuhi, maka perjanjian kerja tersebut harus batal demi hukum.
Disamping syarat-syarat sahnya perjanjian yang disebutkan diatas, perjanjian memiliki asas-asas. Demikian juga dengan perjanjian kerja, yang merupakan salah satu bentuk perjanjian. Perjanjian kerja memiliki beberapa asas yang terkandung di dalamnya, yaitu :
-       Asas kebebasan berkontrak atau Open sistem
Asas yang utama di dalam suatu perjanjian adalah adanya asas yang terbuka atau open sistem, maksudnya bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja dan dengan siapa saja. Ketentuan tentang asas ini disebutkan di dalam pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang yang berlaku bagi yang membuatnya. Asas ini biasa disebut dengan asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract. Walaupun demikian kebebasan berkontrak tersebut ada batasnya yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

-       Asas konsensual atau asas kekuasaan bersepakat
Asas yang perlu diperhatikan dalam suatu perjanjian adalah asas konsensual atau asas kekuasaan bersepakat atau contract vrijheid, ketentuan ini disebutkan pada pasal 1458 KUHPerdata. Maksud dari asas ini adalah, bahwa perjanjian itu ada sejak tercapainya kata sepakat, antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Pada perjanjian yang paling utama dan pertama adalah telah terpenuhi kata sepakat dari mereka yang membuatnya. Namun dalam asas ini ada juga pengecualiannya, yaitu dengan ketentuan yang harus memenuhi formalitas-formalitas tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang dalam berbagai macam perjanjian.

-       Asas kelengkapan atau Optimal sistem
Maksud dari asas ini adalah apabila para pihak yang mengadakan perjanjian, berkeinginan lain, mereka bisa menyingkirkan pasal-pasal yang ada pada undang-undang. Akan tetapi jika tidak secara tegas ditentukan di dalam suatu perjanjian, maka ketentuan pada undang-undanglah yang dinyatakan berlaku. Contoh pasal 1477 KUHPerdata, mengenai penyerahan, apabila tidak diatur di dalm perjanjian, maka penyerahan dilakukan di tempat di mana barang tersebut di jual.

Selain syarat-syarat material seperti yang telah diuraikan, maka dalam hal diadakannya perjanjian kerja yang dilaksanakan secara tertulis, dalam perjanjian kerja juga harus berisi syarat-syarat formal antara lain sebagai berikut :
-       Harus disebutkan macam pekerjaan yang diperjanjikan
-       Waktu berlakunya perjanjian kerja
-       Upah buruh yang berupa uang diberikan tiap bulan
-       Saat istirahat bagi buruh, yang dilakukan di dalam dan kalau perlu di luar Indonesia serta selama istirahat itu
-       Bagian upah lainnya yang berisi perjanjian menjadi hak buruh

Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan. Kejelasan hak dan kewajiban ini begitu penting untuk memelihara adanya kepastian, dan sekaligus merupakan perlindungan, khususnya bagi pekerja/buruh.
Pengaturan hak dan kewajiban bagi pekerja/buruh juga ditetapkan dalam Peraturan Perusahaan (PP), yaitu peraturan yang mengikat keseluruhan pekerja yang isinya meliputi hak dan kewajiban pekerja/buruh dan manajemen termasuk tata tertib kerja yang pada dasarnya dibuat oleh perusahaan. Selanjutnya ketentuan itu dapat pula ditentukan dalam suatu Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang merupakan hak dan kewajiban yang bersifat kolektif yang dibuat melalui perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan manajemen perusahaan.
Negara juga mengadakan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban buruh dan majikan. Peraturan Perundang-undangan ini bersifat umum dan berlaku untuk keseluruhan hubungan kerja di semua perusahaan.
Adapun yang menjadi kewajiban pekerja, tersirat dari unsur-unsur perjanjian, yang diatur pada pasal 1603, 1603 a, 1603 b, dan 1603 c KUHPerdata. Yang merupakan kewajiban pekerja, antara lain :
-       Buruh wajib melakukan pekerjaan, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa buruh atau pekerja wajib melaksanakan isi dari perjanjian kerja, yaitu pekerjaan. Yang pada prinsipnya buruh atau pekerja wajib melakukan pekerjaannya sendiri. Sesuai dengan pasal 1603 a KUHPerdata, pada prakteknya pekerja atau buruh bias menyuruh orang lain untuk menggantikan pekerjaannya, dengan izin majikan.
-       Buruh wajib mentaati aturan dan petunjuk dari majikan, aturan-aturan yang wajib ditaati oleh buruh atau pekerja tersebut dituangkan dalam tata tertib perusahaan dan peraturan perusahaan. Disamping itu pekerja atau buruh wajib menjalankan perintah-perintah majikan, sepanjang tidak bertentangan dengan isi perjanjian, undang-undang, dan kebiasaan setempat. Untuk itu, semua hal yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja harus secara tegas dan jelas.
-       Kewajiban untuk membayar ganti rugi atau denda, hal ini apabila pekerja atau buruh dalam melaksanakan pekerjaannya melakukan kelalaian atau kesengajaan, yang menimbulkan kerugian bagi majikan. Akan tetapi, apabila kerugian tersebut diluar kehendak pekerja, maka hal tersebut bukan tanggung jawab buruh atau pekerja.
Kewajiban buruh atau pekerja yang di uraikan diatas, secara langsung merupakan hak majikan. Begitu juga sebaliknya, apa yang menjadi kewajiban majikan merupakan hak buruh atau pekerja. Adapun yang menjadi kewajiban dari majikan adalah :
-       Kewajiban untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, hal ini berkaitan dengan undang-undang. Apa yang sebenarnya berdasarkan ketentuan hukum harus dilakukan, dibiasakan untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya. Begitu juga dengan hal-hal yang berdasarkan ketentuan hukum harus dicegah atau dihindari, dibiasakan untuk dilakukan pencegahannya dengan penuh ketaatan.
-       Kewajiban untuk memberikan istirahat tahunan, hal ini sesuai dengan yang tertera pada pasal 1602 v KUHPerdata jo PP no.21 tahun 1954 tentang istirahat tahunan si buruh atau pekerja. Majikan wajib mengatur sedemikian rupa, agar buruh atau pekerja bisa mendapatkan hak cuti atau istirahat tahunan, tanpa mengganggu proses produksi perusahaan.
-       Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan, hal ini tertera pada pasal 1602 x KUHPerdata. Bahwa majikan wajib mengurus perawatan dan pengobatan bagi buruh atau pekerja yang bertempat tinggal padanya, jika si buruh menderita sakit atau kecelakaan. Akan tetapi, majikan menjadi tidak wajib apabila sakit yang diderita ataupun kecelakaan buruh tersebut karena perbuatan buruh yang disengaja atau karena perbuatan asusila. Hal ini menjadi tidak adil bagi buruh atau pekerja, karena buruh sudah tidak lagi mendapatkan fasilitas tempat tinggal. Hal ini diselesaikan dengan kewajiban majikan untuk memberikan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama, sesuai dengan pasal 86 undang-undang no.13 tahun 2003. Ada juga mengenai alat-alat kerja yang diatur dalam undang-undang no.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, mengenai kecelakaan kerja diatur dalam undang-undang no.3 tahun 1992 tentang Jaminan sosial tenaga kerja. Jaminan sosial tenaga kerja dikelola oleh PT. JAMSOSTEK, yang mempunyai 4 program yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
-       Kewajiban memberikan surat keterangan, hal ini tercantum pada pasal 1602 a (1) (2) KUHPerdata. Majikan wajib memberikan surat keterangan yang berisi tentang sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja, yang harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan majikan. Surat keterangan diberikan apabila hubungan kerja sudah berakhir atas permintaan buruh atau pekerja, sebagai modal untuk memasuki bursa tenaga kerja baru. Surat keterangan tersebut sebagi bukti atas pengalaman kerja, jabatan yang pernah di duduki dan keahlian tertentu yang dimilikinya.
-       Kewajiban majikan untuk memberlakukan sama antara pekerja pria dan wanita, hal ini dilatarbelakangi adanya gerakan emansipasi wanita, yang menuntut adanya persamaan hak di segala bidang dengan pria. Majikan tidak boleh membedakan antara pria dan wanita, dalam hal kesempatan pendidikan, syarat-syarat kerja, kenaikan pangkat, berakhirnya hubungan kerja, maupun dalam hal pemberian upah. Undang-undang mendukung persamaan antara pria dengan wanita, akan tetapi ada beberapa larangan dan pembatasan yang berkaitan dengan pekerjaan bagi seorang wanita, yang tujuannya untuk melindungi harkat dan martabat kaum wanita itu sendiri.
-       Kewajiban membayar upah, hal ini ditegaskan pada pasal 1602 KUHPerdata. Yang menjadi perhatian utama adalah pembayaran upah tepat pada waktunya. Upah merupakan sarana utama bagi buruh atau pekerja dan keluarganya, maka hal ini bukan hanya menjadi kewajiban majikan, akan tetapi pelu mendapat perhatian pihak lain, yaitu pemerintah.

Hubungan kerja antara buruh atau pekerja dengan majikan terdiri dari hubungan kerja tetap dan hubungan kerja tidak tetap. Dalam hubungan kerja tetap, perjanjian kerja antara buruh atau pekerja dengan majikan berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), sedangkan dalam hubungan kerja tidak tetap antara buruh atau pekerja dengan pengusaha didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

1.    Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara. Dalam perjanjian kerja ditentukan jangka waktu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara buruh atau pekerja dengan pengusaha. PKWT diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.KEP 100 MEN/VI/2004 tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (selanjutnya disebut Kepmen 100/2004). PKWT juga diatur pada pasal 56 sampai dengan Pasal 63 Undang-undang no.13 tahun 2003.
PKWT adalah perjanjian bersyarat, antara lain harus dibuat tertulis dan dalam bahasa Indonesia. Pasal 57 (2) undang-undang no.13 tahun 2003 menyatakan, apabila PKWT tidak dibuat tertulis dan dalam bahasa Indonesia, maka dinyatakan (dianggap) sebagai PKWTT. Pada PKWT tidak ada masa percobaan, apabila ada maka hal tersebut dianggap batal demi hukum. Apabila pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan alasan masa percobaan, maka pengusaha dianggap memutuskan hubungan kerja sebelum berakhirnya perjanjian kerja, oleh karena itu pengusaha dapat dikenakan sanksi menbayar ganti rugi sebesar upah buruh atau pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Pasal 59 (2) (3) undang-undang no.13 tahun 2003 menentukan jenis pekerjaan yang bisa dibuat PKWT. Antara lain pekerjaan paket yang sekali selesai atau pekerjaan yang bersifat sementara, pekerjaan yang penyelesaiaannya diperkirakan dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun khususnya untuk PKWT berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu, pekerjaan yang bersifat musiman, dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan (yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan).
PKWT yang didasarkan pada paket pekerjaan yang sekali selesai paling lama hanya untuk tiga tahun, dan harus dicantumkan batasan paket dinyatakan selesai di dalam perjanjian. Apabila bisa selesai lebih awal, PKWT berakhir atau putus demi hukum.
PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca tertentu yang hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Pekerjaan untuk memenuhi target atau pesanan, di kategorikan pekerjaan musiman. Pasal 5 Kepmen 100/2004 menyatakan pekerjaan musiman hanya dapat dilakukan oleh buruh atau pekerja yang melakukan pekerjaan tambahan, pasal 6 Kepmen 100/2004 menyatakan pelaksanaannya dilakukan dengan membuat daftar nama-nama buruh atau pekerja yang melakukan pekerjaan.
Menurut Kepmen 100/2004  PKWT yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali perpanjangan dalam masa satu tahun. Hanya boleh dilakukan oleh buruh atau pekerja yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.
Ada juga perjanjian kerja harian lepas, pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta pembayaran upah yang di dasarkan pada kehadiran. Perjanjian kerja ini dapat dilakukan apabila buruh atau pekerja bekerja kurang dari 21 hari kerja dalam satu bulan. Apabila buruh atau pekerja bekerja terus menerus melebihi 21 hari kerja selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, maka status perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT. Perjanjian kerja wajib dibuat secara tertulis dengan membuat daftar pekerja atau buruh yang melakukan pekerjaan, dengan materi perjanjian yang memuat sekurang-kurangnya nama dan alamat perusahaan pemberi kerja, nama dan alamat buruh atau pekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan, dan besarnya upah. Daftar ini disampaikan kepada Disnaker kabupaten atau kota setempat selambat-lambatnya tujuh hari sejak memperkerjakan buruh.
Pasal 162 undang-undang no.13 tahun 2003 menyatakan, apabila PKWT di akhiri oleh salah satu pihak, sebelum berakhirnya waktu yang diperjanjikan atau sebelum paket pekerjaan selesai, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena pekerja atau buruh meninggal dunia, dan bukan karena putusan pengadilan atau lembaga PPHI atau bukan karena adanya keadaan-keadaan tertentu, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar upah buruh atau pekerja sampai batas waktu berkhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 59 (1) b undang-undang no.13 tahun 2003 menyatakan PKWT yang didasarkan paket pekerjaan tertentu tidak dapat diperpanjang, dibuat hanya maksimum untuk waktu tiga tahun. Akan tetapi, apabila karena alasan kondisi tertentu sehingga pekerjaan belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan PKWT. Pembaruan PKWT dilakukan setelah “masa jeda” tiga puluh hari setelah berakhirnya perjanjian. Hal ini tercantum pada pasal 5 Kepmen 100/2004. Sebaliknya PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan pertama kali selama dua tahun, dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Hal ini tercantum pada pasal 59 (4) undang-undang no.13 tahun 2003. Pasal 5 Kepmen 100/2004 menyatakan perpanjangan PKWT ini harus diberitahukan secara tertulis tujuh hari sebelum perjanjian kerja berakhir. Hanya dapat dilakukan setelah melalui “masa jeda” dengan tenggang waktu tiga puluh hari sejak berakhirnya PKWT yang lama.
Apabila syarat perpanjangan, pembaruan jenis dan spesifikasi tidak diindahkan, maka demi hukum hubungan kerja tersebut berubah menjadi PKWTT. Apabila itu terjadi, maka buruh atau pekerja berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak. Apabila yang dilanggar adalah jenis dan sifat pekerjaannya, maka masa kerjanya dihitung sejak terjadinya hubungan kerja, apabila yang dilanggar adalah ketentuan mengenai jangka waktu perpanjangan atau pembaruan maka masa kerja dihitung sejak adanya pelanggaran mengenai jangka waktu tersebut.

2.    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu atau PKWTT adalah perjanjian kerja antara buruh atau pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
Pasal 60 (1) undang-undang no.13 tahun 2003 menyatakan pada PKWTT dapat disyaratkan adanya masa percobaan kerja paling lama tiga bulan. Pasal 60 (2) undang-undang no.13 taun 2003 menyatakan pada masa percobaan pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 63 undang-undang no.13 tahun 2003 menyatakan apabila PKWTT dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi buruh atau pekerja yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat nama dan alamat buruh atau pekerja, tanggal mulai bekerja, jenis pekerjaan, dan besarnya upah.

1 komentar:

  1. Casino.Games Review & Bonus Code - DRMCD
    Casino games 성남 출장마사지 - Play 상주 출장샵 real money 양주 출장안마 casino games online in our 2021 김포 출장샵 DRMCD Casino.Games. Casino.Games. Casino.Casino.Games. Casino.Games. 순천 출장샵 Casino.Casino.Games. Casino.

    BalasHapus