Rabu, 20 Juli 2011

Perlindungan folklor motif tatto suku dayak kenyah menurut undang-undang no 19 tahun 2002 tentang hak cipta

(Milki Usman Yahya, SH)

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman seni, etnik dan budaya. Keanekaragaman budaya yang karya-karyanya biasa dikenal dengan istilah folklor. saat ini folklor merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Folklor diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komonitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan peubahan lingkungan.
            Menurut Muhammad Djumhana, Ada beberapa alasan perlunya dikembangkannya perlindungan bagi folklor, diantaranya adala adanya pertimbangan keadilan, konservasi, pemeliharaan budaya dan praktek tradisi, pencegahan perampasan oleh pihak-pihak yang tidak berhak terhadap komponen-komponen folklor dan pengembangan penggunaan kepentingan folklor. Perlinungan terhadap folklor berperan positif memberikan dukungan kepada komunitas masyarakat tersebut dalam melestarikan tradisinya.
            Alasan kebutuhan adanya perlindungan hukum atas hak cipta semakin berkembang dengan pesat karena banyaknya pihak-pihak  yang tidak bertanggung jawab merugikan orang lain dengan melawan hukum melalui masalah pembajakan atau mengklaim Ciptaan atas folklor. Karena itulah perlindungan hukum yang memadai sangat diperlukan supaya kemampuan Hak Intelektual, kreatifitas, atau keahlian masyarakat Indonesia  dapat tumbuh sejalan dengan iklim persaingan usaha yang sehat.
            Folklor merupakan suatu karya cipta yang telah diketahui secara turun temurun oleh suatu golongan masyarakat baik secara lisan maupun tulisan serta direproduksi  dan merefleksikan identitas sosial dan budaya suatu masyarakat tertentu. Folklor tidak diketahui siapa penciptanya akan tetapi ciptaannya telah dikenal baik dalam suatu masyarakat dan dianggap bahwa ciptaan tersebut merupakan warisan budaya masyarakat itu sehingga masyarakat tersebut memiliki hak untuk menggunakan ciptaan tersebut.
      Berkaitan dengan perlindungan hukum atas foklor di Indonesia masih di rasa sangat minim, hal ini terlihat dari tidak adanya peraturan perudang-udangan yang menagtur khusus tentanng foklor, foklor hanya di atur di Undang-undang Hak Cipta No.19 Tahun 2002. Foklor  inipun hanya di atur dalam satu pasal dimana sangat memungkinkan terjadinya penyalahgunaan atau distorsi atas pesan yang terkandung dalam foklor tersebut.
       Dalam pasal 10 ayat 2 undang-undang Hak cipta disebutkan bahwa Negara memengang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperta cerita rakyat, hikayat, dongeng, legenda, babad lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kalgrafi, dan karya seni lainnya. Dalam ayat berikutnya disebutkan bahwa untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut apada ayat 2, orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
folklor dijelaskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat 2 Undang-undang No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai sekumpulan Ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukan identitas sosial dan budaya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun
Dalam ayat 4 pasal yang sama disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagai mana dimaksud dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
sehubungan dengan folklor yang dimiliki oleh bangsa indonesia, salah satunya adalah motif tatto suku dayak. Tatto bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian tradisi, religi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang, karena itu tatoo tidak bisa dibuat sembarangan, selain sebagai hiasan badan, tatto mempunyai arti atau tanda sudah berbuat sesuatu misalnya pria sudah memenggal kepala lawannya dalam pertarungan (mengayau), suka menolong dan lain-lain.
Sebelum melakukan pembuatan tatto dilakukan terlebih dahulu upacara pembuatan dilakukan dipimpin oleh juru dewasa, atau dapat juga dilakukan oleh orang-orang yang berhasil dalam peperangan (misalnya seseorang yang telah berhasil mengayau atau memenggal kepala lawannya)
            Pada saat ini tatto menjadi bagian gaya hidup bagi sebagian kaum urban, banyak yang tidak mengetahui bahwa Indonesia sudah mengenal tattoo sejak beratus-ratus tahun yang lalu, masih banyaknya anggapan bahwa tatto adalah bagian dari budaya barat yang harus dijauhkan dari masyarakat indonesia, hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan akan wasasan nusantara yang multi etis dengan budaya masing-masing etnis mempunyai corak yang khas,
Bahwa ketidaktahuan masyarakat akan salah satu budayanya ini juga dikarenakan pada masa rezim otoriterian suharto, membuat stereotipe bawa pengguna tattoo adalah sampah yang harus dibasmi karena dianggap meresahkan masyarakat. Hal ini dilegitimasi dengan adanya Petrus (penembak misterius) yang digunakan rezim pada saat itu untuk membunuh gali, atau preman-preman jalanan dan orang-orang bertatto.
Banyak masyarakat belum menyadari potensi ekonomi dari suatu folklor, hal ini terlihat masih adanya anggapan bahwa siapa saja boleh memanfaatkan pengetahuan mengenai folklor, masih adanya simplikasi berfikir bahwa folklor hanya mempunyai hak moral, dalam arti bahwa cukup mendapatkan pengakuan dunia bahwa folklor tersebut adalah milik bangsa Indonesia. Hal ini sungguh disayangkan dikarenakan dengan simplikasi itu maka kita sebagai pemilik folklor tersebut akan mengalami  potential Loss( potensi keuntungan yang hilang) dikarenakan tidak disadarinya bahwa folklor memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Perlindungan terhadap folklor juga berperan positif memberikan dukungan kepada komunitas masyarakat tersebut dalam melestarikan dan mengembangan tradisinya.
Dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang Hak Cipta menyebutkan bahwa “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”. Dalam konteks ini maka negara adalah pemegang Hak Cipta atas suatu karya folklor, sehingga negara dapat menggunakan hak-haknya sebagaimana diatur dalam pasal tersebut.
Hak Cipta adalah hak eksklusif  dari pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya (pasal 2 ayat 1) hal ini diartikan bahwa tidak ada seorang atau negara lain untuk menggunakan hak tersebut kecuali dengan izin pencipta atau pemegang hak. Hal ini dikarenakan hak cipta timbul ketika Ciptaan itu lahir .
Dalam undang-undang ini diatur mengenai Hak Moral dan Hak Ekonomi dalam pengertian Hak Moral adalah Hak yang melindungi kepentingan pribadi sipencipta sebgai mana diaturdalam pasal 24 Undang-undang Hak Cipta. Menurut konsep hukum kontinental hak pengarang (droit d’aueteur,author right) terbagi menjadi hak ekonomi  seperti uang dan hak moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi sipencipta.
Hak moral juga diatur dalam konvensi internasional seperti yang tercantum dalam pasal 6 konvensi bern yang menyatakan :
“pencipta memiliki hak untuk mengklaim kepemilikan atas karyanya dan mengajukan keberatan atas distorsi, mutilasi atau perubahan-perubahan serta perubahan-perubahan serta perbuatan-perbuatan pelanggaran lain yang berkaitan dengan karya tersebut yang dapat merugikan kehormatan atau reputasi si pengarang/ pencipta”.
Dalam konvensi bern ditentukan bahwa setiap negara peserta wajib memberikan pencipta hak untuk menuntut kepemilikan dan hak untuk melawan segala bentuk pemutar balikan, atau perubahan lainnya atau tindakan penghinaan dalam hubungannya dengan Ciptaan yang dapat merugikan nama baik atau reputasi Pencipta.
Perlindungan terhadap folklor yang dimiliki oleh masyarakat indonesia salah satunya motif tatto suku dayak masih sangat minim, salah satunya penyebabnya karena teknis pelaksana ketentuan tersebut melalui Peraturan Pemerintah tentang Hak Cipta atas folklor yang dipegang oleh negara yang masih berupa rancangan sehingga belum memililki kekuatan hukum yang mengikat.
Perlindungan folklor juga masih dalam perdebatan dalam forum-forum internasional, sehingga sampai saat ini belum adanya kesepakatan yang dituangkan dalam konvensi Internasional sehingga masih banyak terjadi pelanggaran terhadap folklor di suatu negara.
Apabila terjadi pelanggaran oleh orang maupun negara lain maka negara sebagai pemegang Hak Cipta berhak untuk mengajukan guagatan secara perdata seperti menuntut ganti rugi dalam forum-forum internasional, penyitaan benda hasil pelanggaran, penyerahan penghasilan yang diperoleh dari hasil pelanggaran, penghentiaan kegiatan pembuatan, perbanyakan, penyiaran, pengedaran, dan penjualan hasil pelanggaran.